Selasa, 29 September 2015

Taha Tama

Terlahir dengan nama Taha Tama pada tahun 1929, kini berusia 86 tahun (88 menurut tahun hijriah). Beliau adalah salah seorang yang telah berjasa membangun Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah. Setelah berusaha mencapai pendidikan yang layak di Manado, Gorontalo dan Makassar, beliau mengabdi sebagai guru SMP di Majene (sekarang ibukota Sulawesi Barat). Tahun 1950-an kembali ke daerahnya di Kabupaten Buol karena panggilan hati untuk membangun daerahnya sendiri.

Di Kabupaten Buol beliau bersama kawan-kawannya merintis SMP pribumi dan SMA pertama (sekarang SMA negeri 1 Buol). Selanjutnya merintis pembangunan SMP di seluruh kecamatan di Kabupaten Buol. Tidak sekadar merintis, tetapi mendirikan bangunan sekolah-sekolah itu bersama murid-muridnya sendiri. Selain beraktivitas sebagai kepala sekolah di SMP, SPG, SMA 1, dan SMEP Buol, beliau juga memimpin organisasi publik, sebagai ketua organisasi buruh sayap partai PSII, juga menjadi ketua Nasakom cabang daerah organisasi bentukan presiden RI pertama, Soekarno.
Tahun 1980, saat telah menjadi pegawai di Departemen Pendidikan Provinsi Sulawesi Tengah di Palu, beliau mendapat cobaan yang sangat berat. Akhir tahun 1980 itu, jelang kelahiran anak terakhirnya, oleh dokter mata di Jakarta, beliau dinyatakan buta seumur hidup, setelah beberapa kali melalui upaya medis. Beliau lalu memohon pensiun dini, dan dikabulkan. Tidak berputus asa dengan kebutaannya, dia memutuskan kembali ke kampung kelahirannya Desa Kualabesar Kecamatan Paleleh, Kabupaten Buol, dengan memboyong anak-anaknya. Kepada anak-anaknya ditanamkan prinsip-prinsip dasar hidup, selalu melihat ke bawah, bersahaja, ikhlas untuk segala aktivitas, tidak berputus asa ketika ditimpa musibah. 

Beliau sendiri dalam kebutaannya, mulai menata cita-cita baru: hendak MENDIRIKAN PESANTREN dekat tempat tinggalnya saat ini, di atas tanah warisan orang tua beliau. Dengan tekadnya yang pantang bersurut, ikhlas yang tinggi, tawakal yang kuat, telah puluhan pukat penangkap yang dijalin dengan tangannya sendiri, mulai dari puluhan hingga ratusan meter, yang seluruh hasilnya dimaksudkan untuk menjadi modal membangun pesantren. Sampai usia mencapai 92 tahun pun beliau masih merangkai pukat dengan kedalaman 19 meter dengan panjang 90 meter. Itulah kerja terakhirnya, karena kini beliau tidak mampu lagi melakukannya. 

Manusia ikhlas ini, sepanjang 41 tahun dalam kebutaannya, pantang mengeluh hendak membaktikan diri kepada kehidupan, dimana di situ dia bisa memberi manfaat bagi manusia-manusia lainnya. Setidaknya Orang Buta ini, sembari menunggu panggilan Allah SWT tetap bersetia mewujudkan cita-cita, mendirikan pesantren di atas tanah warisan orang tuanya. Sampai kini usahanya itu belum menunjukkan hasil sebuah “batu pertama” atau sebatang “tiang penyangga” pun, calon bangunan pesantren, sementara usianya telah mencapai 86 tahun. Dalam kebutaaannya, kesahajaannya sebagai tokoh masyarakat yang hampir terlupakan, masih pula orang-orang menggoda keikhlasannya, tidak sedikit orang terbantu menjalankan usaha yang dirintis dengan tangannya sendiri itu, tetapi mereka tidak pula segan melukai hatinya, sehingga usahanya selalu gagal tanpa hasil. Setiap gagal, beliau bangun kembali, lalu gagal dan dibangun kembali, sepanjang 35 tahun....!!!! 

Beliau adalah Ayahku, Guruku, Panutan Hidupku. Betapa Aku malu pada diri sendiri, berstatus Pegawai Negeri Sipil dan bekerja sebagai Dosen di salah satu perguruan tinggi negeri kota Palu Sulawesi Tengah, tetapi tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia hampa makna. Terima Kasih Ayahku terkasih, engkau telah menyadarkanku. Tidak mesti mengejar status dan peran sosial di dunia hampa makna, di ketinggian yang absurd. Di dunia bawah penuh makna justru hidup itu terasa lebih indah, pun berarti. 

SELAMAT ULANG TAHUN KE 86 AYAHKU...... meski dikau tidak mungkin membaca tulisan ini, tetapi telah tersampaikan suasana hatiku kepada dunia luar melalui media ini, betapa bangganya aku padamu..!!! 

Dari Anakmu, Mohammad Syafei T. Tama (Oyot)